Tentang Perjalanan

"Hidup adalah tentang sebuah perjalanan, dimana seseorang yang diam menetap tidak akan bisa berkembang sedangkan yang berpindah-pindah selalu mendapatkan kejutan dari sang pencipta yang membuat kita berbeda dari orang lain."

Tentang Kehidupan

"Jangan takut oleh kemarahan orang sehingga kita takut berkata dan bersikap jujur."

Tentang Kesungguhan

"Ketika kamu lelah dan kecewa, maka saat itu kamu sedang belajar tentang kesungguhan."

Tentang Kebijaksanaan

"Orang bijak menemukan kebijaksanaannya melalui kerasnya kehidupan."

Tentang Kesabaran

"Sejak kita menginginkan kebahagiaan dan kesuksesan, sejak itu pula kesabaran menjadi kewajiban kita."

Senin, 27 Agustus 2018

'Cubitan-cubitan' kecil dari Allah




Hari itu cuaca panas sekali. Matahari bersinar garang menyengat perih. Sebotol air mineral 500ml ku serubut 2/3. Segarnya membasahi pembuluh, pengganti peluh yang menetes mengalir. Ah iya..fenomena equinox kata orang-orang. Pantas saja.

Sengaja kupilih duduk di bangku pojok bis favorit yang hampir setiap hari ku tumpangi. Biar angin bisa menerpa tubuh lewat jendela yang ku buka lebar-lebar.

Selang 10 menit, bis berhenti dipertigaan. Ku lirik siapa yang naik, rupanya 2 orang anak bersendal jepit. Mereka kuperkirakan berusia 10 tahun.
Bis sedikit lama berhenti, karna ternyata bocah usia sekolah itu membawa masing-masing 4 sapu lidi yang diikat dengan tali rafia.

Tak lepas mataku memandang mereka. Karna tiba-tiba kuteringat Fatih kecilku yang yang mungkin pada jam yang sama lagi tidur siang atau sedang menonton Upin Ipin yang tak bosan-bosan dipelototin meskipun telah berulang-ulang tayang.

Setelah kedua bocah tadi duduk, iseng ku bertanya, " Sapu lidinya mau dibawa kemana. Apa kalian masih sekolah?"
Dengan senyum riang khas anak-anak mereka hampir berbarengan menjawab.
"Dibawa ke Padang, bu..nanti sampai di Padang kami jalan kaki jualan sapu lidi ini".

Lalu disaat ku masih tertegun dengan jawaban temannya, bocah yang satu lagi menimpali, "Kami masih sekolah, bu..sudah pulang".

Masyaallah, gumamku. Aku mendengar jelas jawaban mereka, tapi fikiranku melayang entah kemana. Membawa imajinasiku pada terik, sandal jepit dan bocah yang memikul sapu lidi. Ah, kehidupan..

"Ini buat jajan kalian nanti ya..bagi dua saja". Tangan kecil itu menolak, sebagai basa basi. Tapi aku tahu, mereka senang. Lalu kuselipkan selembar uang disaku kemeja lusuh yang dikenakan.
"Semoga sapu lidinya laku, ya.." ujarku sambil memegang pundak mereka yang belum kokoh.
"Aamiin..makasih, bu" jawab mereka serempak.

30 menit berlalu. Bis ini jalan bagai semut. Pelan sekali. Entah SOP nya begitu atau karna penumpang lengang, ini lah ciri khas bis yang melegenda ini. Beringsut-ingsut.

Dekat rel kereta api, seorang pengamen melompat sigap ke bis yang kutumpangi. Setelah minta izin pada supir, terdengarlah 2 tembang diiringi alunan gitar seadanya.

Tapi aku suka lagunya. Jarang-jarang ada pengamen menyanyikan lagu itu.

...Bersyukur kepada Allah
Bersyukur sepanjang waktu
Setiap nafasku seluruh hidupmu
Semoga diberkahi Allah..

Alhamdulillaah wa syukurillaah
Bersyukur pada-Mu ya Allaah..
Kau jadikan kami saudara
Indah dalam kebersamaan..

Tembang yang pas, bikin adem, bisik hatiku membatin.

Kantong kemasan kopiko disodorkan padaku dan penumpang lainnya. Pertanda si Pengamen mengharapkan ucapan terima kasih dari kami yang mendengar. Baik berupa sedikit uang, atau anggukan lembut dan senyuman manis.

Sampai di kursi bocah yang membawa sapu lidi tadi, si pengamen mengeluarkan selembar uang lima ribuan. Lalu memberikannya pada mereka. "Iko untuak bali aia Ang beko yo..elok-elok bajalan, jalanan di Padang rami" ujarnya. Agaknya mereka semua sudah saling kenal.
Lalu pengamen itu melompat turun setelah mengucapkan terima kasih pada supir.

Aku betul-betul terkesima dengan apa yang kuperhatikan dari tadi. Berapalah uang dalam kemasan kopiko tadi. Tapi masih saja dia berbagi.

Dan 'Cubitan-cubitan kecil' dari Allah hari ini membuatku tersadar pada motto yang pernah kutulis ketika mengisi sebuah biodata "Menjadi Distributor Karunia Allah"

Karna semua hanyalah titipan.




Senin, 12 Desember 2016

Hiburan 'cantik' dari Allah


Hidup dan ujian adalah keniscayaan, karena itulah tanda kita masih ada di dunia. Sebaik atau seburuk apapun kita melakoni, semua tidak akan terlepas dari materi-materi ujian yang telah Allah persiapkan. Ibarat sekolah, tentu ada evaluasi untuk setiap kelas. Mau naik atau tidak, mau lulus atau tertinggal, semua tergantung yang sedang di uji, karena Allah telah bekali hati dan akal, rasanya ini merupakan modal utama dalam memaknai materi uji.

Kehidupan itu melenakan dan sering membuat lupa. Itu tabiat manusia. Apalagi ketika sedang berada dalam kenikmatan dan kebahagian, sering DIA terabaikan. Ya, setidaknya kualitas mengadu pada-NYA tak sebaik ketika kita sedang bergelut dengan duka. Ah, apalah manusia ini, seonggok daging yang kadang tak tahu diri.

Merenung dan bermuhasabah ketika menerima "tamparan"  ujian pertama itu memang tidak mudah dilakukan. Biasanya reaksi pertama adalah bertanya, kenapa? Menanyai hati dan memburu makna "ogah". Ah, lagi-lagi apalah manusia ini, seonggok daging yang sering tak tahu diri.

Jika kita mau berdiskusi dengan hati saat ujian sedang melanda, tanpa kita sadari selalu saja ada "kejadian-kejadian" cantik yang Allah suguhkan untuk menghibur. Yang membuat ujian tidak lagi terasa seberat yang kita fikirkan. Semua pasti pernah mengalaminya, bukan?

Nah, jika pembaca Diary Asysyifa pernah mengalami sendiri atau pernah mendengar kisah tentang ini, silahkan tulis dikolom komentar, barangkali kejadian yang Anda alami bisa menginspirasi atau setidaknya bisa jadi pelajaran bagi orang lain yang sedang merasakan hal yang sama.

Satu kisah menarik yang terpilih, akan saya jadikan cerpen untuk tulisan berikutnya. Pastinya dalam bentuk fiksi dengan kemasan tersamarkan. 

Selamat berbagi inspirasi..:)


* Contoh : Saya pernah sedih sekali karena jomblo kronis dan ga pernah ada laki-laki yang naksir. Tapi ketika merasakan itu, beberapa hari kemudian ada seorang teman yang curhat sambil nangis bombay karena habis diputusin pacarnya, dia kelihatan hancur sekali hingga nilai beberapa mata kuliahnya D akibat ga konsentrasi belajar. Kejadian ini sungguh membuat saya bersyukur pada Allah, ga ada pacar, ga yang naksir No Problem. Mungkin dengan cara ini Allah menjaga saya agar ga pacaran sebelum nikah dan bisa berprestasi tanpa menangisi hal-hal yang tidak berarti.. :)

Any else?

dikirim ya...makasih, temans...:))








Rabu, 05 Oktober 2016

Jangan menebar rasa, Karena Perempuan itu sangat perasa


"Aku hanya menganggapnya sahabat, tidak lebih. Terlalu berlebihan jika dia menganggap ada yang spesial" ujar Ray datar tanpa rasa bersalah sedikitpun. 

Ego perempuanku muncul, dengan sedikit kasar diktat yang sedari tadi damai dalam dekapan, kuhempaskan ke meja kantin fakultas siang itu. Lelaki jangkung berkaca mata minus ini  terperanjat. Sepertinya dia tak menyangka kalau aku yang tidak terbiasa bersuara keras, sesekali bisa menggelegar. 

Kurobah posisi untuk meredakan emosi. Duduk. Diapun serta merta mengikuti. Bayangan tangis Rini sahabatku kembali menyeruak. Sesungukan semalam menumpahkan perasaannya padaku.

"Wi, rasa ini sangat menggangguku. Aku tahu ini belum waktunya. Tetapi coba kamu perhatikan bagaimana dia memperlakukanku. Mengajak diskusi saban hari, whatsappin aku hanya sekedar untuk menanyakan sudah makan atau belum?. Bahkan dia sering deketin keluarga aku. Salahkah jika aku menaruh harapan? Tapi sampai sekarang dia tak pernah mengungkapkan perasaan dan maksudnya padaku. Semua mengambang begitu saja. Padahal dia kan sudah pasca sarjana, dan akupun juga sudah dewasa. Aku suka sama dia, Wi..selalu ada yang kurang jika sekali saja dia tak menghubungi. Aku tersiksa dengan perasaan ini. Untuk menanyakannya langsung tentu ini akan menjatuhkan harga diriku." Kubiarkan Rini mengurai gumpalan rasa yang mengganjal hatinya. "Ga apa-apa, Rin. Jadikan saja aku tong sampah untuk semua masalah-masalahmu. Sebisanya akan kudengar, "batinku. 

"Kamu perlu orang ketiga, Rin" jawabku cepat.

"Buat apa?" wajah gadis berhijab ungu dengan motif abstrak ini yang sedari tadi menunduk tiba-tiba tegak menatap lurus padaku

"Untuk menanyakan bagaimana perasaannya padamu. Setidaknya dengan demikian kamu tidak membuang-buang waktu dalam ketidakpastian." Jawabku

"Tidakkah itu menjatuhkan harga diriku? Kamu ada-ada saja,Wi. Jangan deh" cegahnya.

"Kamu yakin? Sekarang usiamu berapa? Setidaknya dengan adanya kepastian ya atau tidak kamu bisa putuskan apa langkah selanjutnya. Jika kalian punya rasa yang sama. Menikah. Jika tidak lupakan" tegasku. 

"Terserah kamu, deh. Tapi cukup kamu dan dia saja membicarakannya. Jadi aku tidak begitu terbebani atas apapun jawabannya." ujar Rini pasrah.

***

Buat Mr. Ray dan Ray-Ray lain diluaran sana. 

Perempuan itu makhluk sensitif dan perasa. Fitrahnya begitu. Perasaannya selangkah lebih maju didahulukan dari pikirannya. 

Contohnya saja ketika seorang ibu melihat anaknya yang baru belajar berjalan, hampir jatuh di tangga. Dia tidak akan berpikir panjang saat itu sedang melakukan apa, yang penting anaknya segera diselamatkan. Bisa saja pisau yang sedang dipegang untuk mengiris bawang ketika it,u dilempar serampangan. Lalu langsung melompat untuk merangkul anaknya. Demikianlah perempuan. Halus. 

Jadi, lelaki-lelaki bijaksana. Jika sekiranya belum ada keinginan untuk serius dan berniat menikahinya, janganlah tebar pesona kemana-mana. Memberi perhatian lebih, boros dalam berkomunikasi, mengumbar pujian atau apalah itu namanya. Mungkin bagimu itu hal biasa, tapi bagi perempuan hal ini akan menjadi luar biasa. Perempuan itu hiperbola. Sedikit bisa diolah menjadi luar biasa. Apalagi jika banyak. Tentulah dia akan menganyam asa dihatinya. 

Kamu bisa saja ketika ditantang menjawab "Ah, tak ada maksud apa-apa. Ini hanya sebatas perhatian sebagai teman,"

Entengnya..
Tahukah kamu?
Dibalik sikapmu yang begitu..telah terangkai kata dalam bundelan-bundelan catatan harian. Telah basah bantal oleh tangis harapan. Telah terbuang waktu akan kesia-siaan. 

Jangan menebar rasa, karena perempuan itu sangat perasa. 

















Senin, 03 Oktober 2016

Menyulam Luka (9) - Kejutan Dari Langit



“Tugas kita hanyalah berupaya untuk selalu memperbaiki diri dan berharap cinta-NYA, karena  ujian setelah hijrah itu adalah istiqomah. Bersabar dalam ketaatan tidaklah mudah. Akan banyak godaan-godaan baik dari diri sendiri maupun lingkungan luar. Tetapi disanalah tantangannya. Insyaallaah, jika niat kita berhijrah semata-mata karna Allah, ga ada yang bisa menggoyahkannya. Jadi selipkanlah selalu doa  mohon ketetapan iman, disetiap permintaan dan harapan yang kita panjatkan pada Allah.” Dengan lugas ustadzah paruh baya yang mengisi halaqoh mingguan kami menjelaskan.

Kukutip sebaris kalimat beliau barusan, sembari mencatat di buku agenda yang setiap minggu kubawa. Ini poinnya. “ Ujian setelah hijrah itu adalah istiqomah. Semoga Allah menguatkankan imanku, aamiin. Doaku membatin.

“Kalau kita setelah berhijrah berharap dapat suami sholeh gimana, Zah?” celetuk Lusi tanpa malu-malu. Tentu saja pertanyaan tanpa basi-basi ini mamancing senyum semua akhwat yang ikut kajian sore itu.


“ Itu bonus, Lusi. Tentu Allah akan membukakan pintu-pintu kemudahan jika kita semakin dekat dengan-NYA. Setidaknya dengan perubahan kita menjadi pribadi yang lebih baik, tentu orang-orang yang berada di frekuensi yang sama akan mudah dekat dengan kita. Wallahua'lam," sembari tersenyum Ustadzah yang selalu tampil bersahaja ini menjelaskan. Beliau paham sekali dengan perasaan para gadis binaannya ini. Sesekali virus merah jambu tentulah menyerang mereka juga.

Kajian hari ini benar-benar menyentuh hatiku. Ruh dari tausiyahnya sangat kurasakan. Jiwa terasa lapang, tanpa beban. Aku berjanji pada diri sendiri, untuk selalu meluruskan niat dan tak berfikir yang lain atas langkah yang telah kuambil. Semua karna Allah. Hanya karna Allah. Kuhapus semua bayangan dan khayalan yang terkadang hadir menggoda.

Tak terasa 6 bulan berlalu. Aku sibuk dengan pekerjaan yang setiap hari menyapa. Sampel yang harus kuperiksa, laporan yang harus kuselesaikan dan tugas-tugas lapangan yang terkadang menguras tenaga. Tapi sesibuk apapun, kajian mingguan tak pernah kutinggal. Kecuali jika sakit atau sedang dinas  di luar kota. Bagiku halaqoh ibarat bengkel jiwa. Saat hati sedang berkabut, seakan tersapu sekembali dari sana. Ajaibnya adalah, aku tak lagi ke musholla kantor hanya karna tahu siapa imamnya, bahkan wangi parfumnya juga hampir terlupakan. 

***

"Vinny, Dwi..Nia minta maaf, ya..tidak memberi tahu sebelumnya. Tapi bukan karna Nia ingin menutupinya dari kalian, hanya saja ketika itu rasanya terlalu dini untuk membahas." terbata-bata Nia bercerita. 

Malam ini seperti biasa ba'da isya kami kumpul bersama. Bukan di kamar Nia, Dwi ataupun aku. Tapi di ruang tengah tanpa meja dan kursi. Yang terbentang hanya selembar karpet. Rumah kontrakan ini mirip lapangan bola. Perabotan nyaris ga ada. Kami bertiga ga berminat beli ini
dan itu, buat apa? kami kan perantauan. Gadis semua. Nanti kalau masing-masing sudah berkeluarga mungkin ada keinginan untuk melengkapi. Pastinya bukan disini. tapi di rumah kami masing-masing.

"Ada apa sih, Nia? serius amiiiir.." ujar Dwi sambil menggeser duduknya ke arah Nia saking penasaran. 

"Sabar dong, Dwi..kamu ini. Ntar Nia batal nih ngasih tau kita," kutimpuk guling ke punggung, Dwi. 
Nia tertawa sambil memperbaiki letak kacamatanya. 

"Sebulan yang lalu Nia ta'aruf dengan seorang ikhwah. Alhamdulillaah..karna sudah sama-sama yakin, minggu lalu Nia di khitbah. Keluarga sudah menetapkan tanggal akad pernikahan. Insyaallah sebulan lagi..." Nia berhenti bicara demi melihat tatapan nanar kedua sahabatnya. 

"Heiiii..kok bengong?" boneka dholpin biru berbulu lembut mendarat di wajah, Dwi. Nia tertawa melihat ekspresi Dwi yang mirip orang lagi nonton sulap. Takjub.

Sedangkan aku? Dimana? 
Ada apa ini?
Jantungku berdegup kencang..
Mungkinkah lelaki yang mengkhitbah Nia itu dia?
Kalau tidak siapa lagi?
Bukankah mereka sangat cocok?

Berkali-kali kutarik nafas dalam-dalam demi menenangkan perasaan. 


(Bersambung)




Sabtu, 24 September 2016

Menyulam Luka (8) - Hijrah



Dingin sekali, kembali kutarik selimut rapat-rapat. Berharap malam masih panjang sehingga pagi tak buru-buru memaksaku agar segera bangkit dari tempat tidur. Rutinitas terkadang membuatku lelah. Apalagi sekarang pekerjaan kantor sangat banyak. Sampel dari berbagai produk setiap hari menanti untuk disentuh, diperiksa dan dilaporkan. Aku dan tim biasanya memang sangat menikmati pekerjaan ini. Tapi sesekali, jenuh pastilah ada. Karena Vinny juga manusia.
Sesaat mata kupejamkan kembali, tubuh yang meringkuk dibalik selimut tak tahan dengan dingin yang menusuk. Dari kamar sebelah sayup terdengar alunan tilawah dari seseorang yang suaranya tak asing lagi. Setiap ayat demi ayat yang dibacanya seumpama hangatnya mentari yang merasuk lembut ke relung hatiku. Suara lembut dengan makraj huruf yang jelas.

Aku tahu, itu suara Nia. Gadis berkacamata minus yang memang selalu tidur lebih awal dan bangunpun lebih dulu. Setelah qiyamul lail biasanya Nia memang selalu tilawah sembari menunggu waktu subuh. Hidupnya begitu teratur. Tenang dan kelihatan nyaris tanpa riak. Dia sangat menikmati setiap sujud panjangnya. Pernah suatu hari diam-diam kuintip dari celah pintu. Dia sedang berdoa sambil terisak. Entah apa yang diadukannya pada Allah. Tapi terlihat jelas, betapa Nia sangat menikmati curhat pada sang Maha Kuasa. Tanpa sadar, Nia adalah guru bagiku. Guru spiritual, lewat teladannya dikeseharian.

***

“Vinny, kamu apa kabar? Jarang banget nelfon aku. Sibuk ya, Non?” suara nyaring Lina memberondongku dengan pertanyaan. Aku tertawa. Pertanda betapa aku rindu padanya. Ingat bagaimana perjuangan kami selama bekerja di Jakarta.  Aku bahkan takkan pernah lupa dengan dia yang selalu ada untukku dalam suka maupun duka. Ah, Lina. Sahabatku.

“ Aku baik-baik saja, Lin. Kamu disana gimana?” balik kubertanya.

“Alhamdulillaah, baik Vin. Tapi biasalah..berburu target-target kerja yang tak berkesudahan. Apalagi jelang akhir tahun? Kebayang kan?” jawabnya.

“Iya, aku tahu. Bahkan bagaimana tampangmu saat lagi suntuk karena pekerjaanpun aku tahu..hahaha” ga tahan kugoda Lina.

“ Tampang manis pastinya” balasnya tak mau kalah. Lalu kami sama-sama tertawa lepas. Sejenak senyap. Lalu sesi kedua kami lanjutkan. Seperti biasa. Dari dulu hingga sekarang. Apa itu? Sesi curhat.

“Lina, coba deh sekarang kamu liat foto terbaru yang kukirim ke BBM mu barusan..”. Sebuah gambar memang baru kukirim. Dan aku ingin Lina mengomentarinya.

“Vinny...kamu dapat hidayah dari mana?, cantik. Lebih anggun malah. Sejak kapan?. Kamu yakin bisa istiqomah? Jangan main-main lho, jangan sekedar ngikutin trend”. Lagi-lagi Lina memberondongku dengan pertanyaan yang diiringin sorakan histerisnya.

“Aku harus jawab yang mana dulu ini, Lin?” potongku.

“Terserah aja deh, yang penting semua pertanyaanku kamu jawab dengan tuntas, gamblang dan terpercaya” jawabnya meminjam tagline sebuah infotainment.

“Sejak 2 hari yang lalu, Lin. Persis dihari ulang tahunku. Insyaallah. Aku hijrah bukan karena saat ini lagi trend jilbab syar’i. Tapi ini buah dari pencarian dan pergolakan batinku sejak 6 bulan yang lalu. Aku baca, kudiskusikan, kuperhatikan, kupertimbangkan dan akhirnya kuputuskan. Aku sangat yakin, ketika Allah perintahkan dalam Alqur’an untuk menjulurkan jilbab dari punggung hingga ke dada, tujuannya adalah untuk menjaga kehormatan wanita. Aku sekarang sudah 27 tahun, Lin. Siapa yang menjamin usiaku sampai di angka 28, 29 atau 30 tahun.  Bahkan sedetik kedepanpun kita tidak tahu apa yang terjadi. Aku menyesal telah banyak membuang-buang waktu. Agama yang kuyakini sedari dulu takku pelajari dengan sempurna. Aku bersyukur bisa Allah pertemukan dengan Nia. Lewat dia Allah kirimkan hidayah padaku. Aku banyak dipinjamkan buku-buku agama. Setiap ada yang tak kumengerti selalu dijawabnya dengan lugas dan jelas. Aku melihatnya mengikuti kajian tiap minggu. Dia bilang, itu halaqoh, tempat mengcas semangat untuk lebih giat lagi beribadah. Dia tak banyak bicara. Tapi taqwanya membias.” Panjang lebar kujelaskan pada Lina rasa ini. Dia pasti tidak tahu, kalau saat ini ada bulir hangat yang jatuh dipipiku.

“Subhanallaah, Vin. Aku turut bahagia mendengarnya. Semoga Allah juga memberi kesempatan padaku untuk menjemput hidayahnya” parau kudengar suara Lina diseberang sana. Aku sangat mengenalnya. Meskipun sedikit tomboy dan cuek, Lina perasaannya sangat halus. Dia mudah terharu dan tersentuh.

“Aamiin..allahumma aamiin” jawabku cepat.

“Oya, Vin. Apa komentar Bang Fadhil liat perubahan penampilanmu?”, iseng Lina kumat lagi. Aku ingat, kalau beberapa kali aku pernah cerita tentang ikhwan bernama Alfadhil seorang high quality jomblo dikantor padanya.

“Lin, ingat ya..aku hijrah bukan karena dia tapi karna-NYA. Allah semata,” jawabku kesal.

“Heiii..jangan marah, Non..aku kan cuma nanya komentarnya..haha,” goda Lina lagi.

“Tidak ada. Udah dulu yaa...aku mau beres-beres dulu..assalamu’alaikum Lina cantik” potongku.
“Wa’alaikumsalam...” jawab Lina diseberang sana. Klik.  

Aku tersenyum sembari menutup telfon. Sekilas memang terlintas bayangan Bang Fadhil yang menatapku dari kejauhan sesaat setelah aku masuk kantor dengan penampilan baru.
Cepat-cepat ku istighfar. Sembari berdoa pada-NYA, agar senantiasa menjaga niat semula yang hanya karna-NYA. Kembali ku teringat kalimat dari sebuah buku yang kemaren kubaca “Jika kita hijrah karna sebab selain Allah, maka semua akan hilang bersama hilangnya sebab itu”. Dan aku tidak inginkan itu.

(Bersambung)



Senin, 19 September 2016

Cermin


"Dia tak mau berubah, Uni. Keras kepala. Aku juga ingin punya istri yang lembut, mau mendengar kata-kataku. Andaikan saja aku dianugerahi istri sholehah..," kalimatnya menggantung. Kepulan asap rokoknya membuatku terbatuk-batuk. Sambil mengibaskan tangan tegas kukatakan, " Jika masih mau bercerita, matikan rokoknya!". Dia tertegun. Tapi rokok kretek yang masih tersisa separuh buru-buru dijatuhkan ke tanah, diinjak. Lalu pandangan kembali dilemparkannya ke hamparan sawah yang mulai menguning.

Siang itu terlihat burung-burung sesekali merenggut bulir padi yang penuh berisi. Tapi mereka takkan dibiarkan. Tangan kekar itu dengan cepat menarik tali yang membentang diagonal dari pematang ke pematang sawah. Hingga kaleng-kaleng yang bergelantungan berbunyi. Burung-burungpun lari.

Dia adalah sepupuku. Telah menikah 2 tahun yang lalu. Dianugerahi seorang putri cantik yang sekarang berusia 1 tahun. Masa-masa manis seharusnya. Tapi tidak bagi Kemal. Demikian biasanya dia dipanggil. Meskipun nama yang diberikan bapaknya adalah Akmal. Tapi dari dulu semua memanggil Kemal. Ah, sejak kecil dia memang unik. Cara berfikirnya sulit ditebak. Hingga terkadang ayahnya yang juga adalah pamanku sering pusing dengan sikapnya yang bosenan.

"Mal, dengar nasehat Uni mu ini baik-baik. Jika sekiranya ada yang benar, tolong kau dengarkan. Tapi jika Uni salah, bisa juga kau luruskan," ucapku serius. 

Dia menatapku lamat-lamat. Seperti anak kecil yang sedang mendengar wejangan ibunya. Usia kami memang terpaut 10 tahun. Jadi sejak kecil Kemal memang sangat menghormatiku. Meskipun saudara kandungnya ada, dia lebih nyaman berkeluh kesah padaku. Semasa kuliah dulupun begitu. 

"Pasangan kita, apakah itu suami ataupun istri, dia adalah cermin diri kita. Pantulan diri dan sikap kita. Artinya apa? Jika kita baik, menjaga sikap, berupaya terus dari hari ke hari menjadi manusia yang lebih baik, pasti lama kelamaan akan berimbas pada pasangan kita," ulasku. Sampai disini kalimat kutahan, sambil melihat reaksi ayah satu anak ini.

Dia menarik ujung bibir sebelah kiri dengan tetap memainkan tali plastik yang sedari tadi dipegangnya. Burung-burung nakal kembali mengintai. Agaknya bulir-bulir padi kami demikian menggiurkan mereka. Cepat kutarik tali itu kembali. Kletak kletok..., bunyi kaleng yang beradu satu sama lain kembali mengejutkan. Makhluk kecil bersayap itu kembali terbang. 

"Tadi kamu bilang apa? Pengen istri sholehah?. Kalau boleh Uni tahu, sebesar apa upayamu untuk menjadi sholeh, Mal? Sholat diujung waktu, sering membentak, ga betah dirumah, sekali pulang sibuk dengan handphone, satu lagi..asap rokok selalu mengepul bak dapur berkayu api!" lagi-lagi kuserang dia dengan peluru bertubi-tubi. 

Kali ini dia tersentak, sedikit heran kenapa aku bisa tahu semua itu. Tapi dia terlalu hormat padaku untuk sekedar bertanya darimana kudapat informasi. 

"Sekarang begini saja, Kemal. Coba kamu renungkan bagaimana selama ini sikapmu sebagai suami. Istri juga butuh dihargai. Selembut-lembutnya wanita, pasti dia akan jengah jika sering dikasari. Jaga perasaannya, jangan sakiti hatinya. Ketenangan dalam keluarga akan mengundang keberkahan. Jika sudah demikian, mawaddah dan rahmah itu akan hadir dengan sendirinya. Sekarang kamu pulanglah..kasihan Tsabita. Dia pasti rindu dengan ayahnya," kusodorkan ransel butut disudut pondok yang tadi dibawanya. 

Dia tak menjawab, tetapi sembari menyandang ransel ke pundaknya, dia berdiri dan berucap, "terimakasih ya, Ni..,". 

"Heeii..kamu mau kemana?" teriakku demi melihat langkah cepatnya.

"Aku mau pulang, Uni..Tsabita menungguku..,"jawabnya sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan.

"Alhamdulillaah..jagalah pernikahan mereka, ya Allah" batinku.




#Fiksi

*Uni ; Kakak perempuan (bahasa Minang)

Sabtu, 17 September 2016

Menyulam Luka (7) Sejumput Rasa



" Ga ikut ke kantin, Non?" tanyaku sambil nyelonong masuk ke ruangan Nia. Gadis berjilbab lebar ini terlihat sedang sibuk membereskan kertas-kertas di mejanya. Dia terlihat anggun, ga sedikitpun wolfis biru yang menutupi punggung dan dan dada itu mengurangi luwes geraknya. Kecantikan alami yang memancar dari keimanan.

"Aku sholat dulu, Vin. Biar makan siang lebih nyaman nanti. Kita ke musholla dulu yuk, kamu belum sholat juga kan?,"ajaknya. 

"Baiklah, Nona..," dengan sedikit membungkukkan badan, kusilangkan tangan kanan di dada. Nia tertawa sumbringah. 

***

Wangi parfum itu sudah kukenal. Ah, sejak kapan? Aku juga lupa mulanya dari mana. Tapi aku tahu pasti, lelaki itu sedang berada disini. Saat sholat berjamaah akan dilaksanakan, dia kulihat dipersilahkan ke depan. Imam.

Ternyata benar kalimat yang kubaca dari buku milik Nia kemaren. Jika disadari, ketika kita melaksanakan sholat tepat waktu, saat itulah sesungguhnya kita sedang beristirahat. Membasuh wajah kaki, tangan dengan air wudhu pastinya menyegarkan. Jika dari pagi hingga masuk waktu dzuhur kita disibukkan dengan berbagai pekerjaan, sensasi dinginnya air wudhu akan menghilangkan rasa gerah dan lelah. Ditambah lagi bila kita bisa khusuk dalam rakaat demi rakaat. Seolah bercakap dan merayu Allah. Subhanallaah..nikmat. Fabiayyi alaa 'iraabikumaa tukadzdzibaann.

Nia terlihat khusuk dengan doa panjangnya, meskipun satu per satu jamaah sudah keluar. Entah apa yang dia pinta pada Allah, aku tidak tahu. Atau doanya sama denganku tadi? Mohon diberikan jodoh yang baik dan sholeh? Ah, entahlah. Kulipat mukena biru yang baru saja ku lepas. Dari balik pembatas shaf laki-laki dan perempuan terlihat olehku punggung lelaki itu kembali. Terpekur, sambil khidmat membaca mushaf kecil di tangan kanannya. Sempurna !

"Yuk, ke kantin," ujar Nia mengajakku. Aku gelagapan. 
"Ok, Pren..," jawabku nyengir. Sambil berdoa dalam hati agar Nia tak menangkap tatapanku tadi. Malu!

***

"Ciyeee..yang ditelponin," Dwi menggoda Nia yang baru saja menerima telfon.

"Dwi, kamu apaan sih..orang ditanyain berkas-berkas sertifikasi kok," jawab Nia sambil menimpuk Dwi dengan bantal dholphin biru putih yang sedari tadi dipeluknya.

Biasanya setiap malam kami memang begini. Ngumpul-ngumpul dan bercerita. Entah itu di kamar Dwi, Nia atau kamarku. Ada-ada saja yang dibahas. Mulai dari pekerjaan kantor, katalog baru berbagai fashion atau membahas kisah-kisah masa lalu. Kami akrab sekali. Berteman, tetapi sudah seperti sekeluarga. 

"Iyaaa..sembari nanyain berkas bisa nanya-nanya kabar juga kan, Non. It's Ok..Honey. Kita-kita sudah pada wajib nikah lho, Bang Fadhil keren, santun, sholeh. Cocok deh sama kamu," sambung Dwi lagi.

Nia cuma tersenyum menanggapi. Gurauan-gurauan seperti ini sudah seperti menu harian para gadis dimana saja. Bisa dihentikan hanya ketika sudah menikah. Jadi biarkan sajalah.

Aku yang sedari tadi khusuk membaca lanjutan buku yang kemaren di pojok kamar Nia tiba-tiba kehilangan konsentrasi demi mendengar celotehan Dwi. Wadduh..ada apa ini Vinny? kenapa ada yang bergemuruh? Bukan, bukan dari langit. Tapi disini. Dimana? Didadaku. Kenapa ini? Entahlah..

Mungkin, mungkin karena sejumput rasa. Tiba-tiba wajah teduh lelaki yang mengimamiku tadi berkelebat indah. Bolehkah?