Minggu, 04 September 2016

Menyulam Luka (4) - Berakhir di 00.00 WIB



Taksi sampai di depan rumah. Kulihat lampu masih menyala, meski pintu dan jendela telah tertutup semua. Kulirik jam tangan, pukul 20. 30 WIB. Untuk kesekian kalinya handphoneku bergetar, tapi tak kupedulikan. Sejak naik taksi tadi entah berapakali Mas Tomy menghubungi, pesan yang masuk juga sudah sangat banyak. Tapi takku baca. Buat apa?. Kuseka airmata yang masih saja menetes. Aku tak mau perih ini membias pada orang-orang yang paling kusayang. Si Mbok dan Abah, muara kasihku. 

"Vinny?, kamu sendiri, Nak? Tomy mana?," Si Mbok yang awal kulihat sedang serius merajut begitu terperanjat melihat kehadiranku tiba-tiba. Aku lupa baca salam. Abahpun tak kalah kaget, koran yang sedang dibaca diletakkan begitu saja. Lelaki hebatku ini memang rajin sekali membaca. Beliau update, karena itulah wawasan Abah luas, rasanya jika diskusi dengan orang-orang bersekolahpun Abah takkan kalah. Bahasa beliau halus tapi tegas. Pintar namun bersahaja. 

"Tadi Mas Tomy ada keperluan mendadak, Mbok. Jadi Vinny pulang sendiri," terpaksa kuberbohong. Aku tak mau kejadian tadi jadi beban fikiran Si Mbok dan Abah. Aku juga tak mau tidur beliau terganggu karena hinaan terselubung yang dialami anak gadisnya. Si Mbok dan Abah telah banyak berkorban untuk kami anak-anaknya. Jadi kutak mau berbagi luka. Meskipun sesungguhnya ku ingin melepaskan tangis dalam hangat dekapan si Mbok. Tapi kutahan. 

"Vinny ke kamar dulu, Mbok. Lelah sekali, besok Vinny juga kerja", sambungku sebelum Si Mbok meneruskan pertanyaannya. Agaknya beliau mengerti. Mungkin karena kebersamaan kami 9 bulan lebih dulu dibanding yang lain. Selama dalam kandungan kami sudah berbagi oksigen dan makanan, jadi terang saja aku dan si Mbok bisa bicara dengan bahasa kalbu. 

"Istirahatlah, Nak. Semoga kamu baik-baik saja," jawab si Mbok. Dan akupun langsung menuju kamar. Saat ini aku butuh sendiri. 

Baru saja kurebahkan tubuh, sebuah pesan via whatsapp masuk. 

Assalamu'alaikum. Merpatiku, Mas sekarang dalam perjalanan balik ke rumah. Maaf, tadi Mas sengaja mengikutimu untuk memastikan kalau kekasih Mas sampai di rumah dengan selamat. Seperti pesan yang Mas kirim sebelumnya, Mas sekali lagi minta maaf atas kejadian tadi. Sikap kedua orang tua Mas pasti telah membuatmu sangat terluka. Tapi Mas janji akan terus memperjuangkan cinta kita sampai semua harapan kita terwujud. Bersabar ya, cantik. Istirahatlah..selamat malam. 

Langsung ku reply pesan lelaki yang beberapa bulan belakangan mengisi hari-hariku ini. Aku tahu dia laki-laki baik dan sama sekali tak bersalah, tapi aku juga bukan perempuan bodoh yang mau membiarkan diri dihina. Aku Vinny, gadis miskin anak supir angkot. Tapi aku bukan gadis biasa yang suka memupuk, menyiram dan menari bersama lara. Aku juga bukan orang yang tidak mau berjuang. Tapi bukan memperjuangkan sesuatu yang resikonya memunculkan lelah jiwa berkepanjangan, jangan! Bagiku pernikahan adalah wadah ketenangan. Jika sudah dimulai dengan hiruk, aku yakin di perjalanan nanti akan hadirkan pikuk. Karena bibit bernama angkuh kutemukan jelas dimata Nyonya yang melahirkan Mas Tomy. Ku bergidik membayangkan sorot mata sombongnya. 

Wa'alaikumsalam. Terimakasih atas segalanya, Mas. Jangan khawatir. Aku tak apa-apa. Tak ada yang salah Mas. Apalagi kamu. Mengenalmu adalah sebuah keindahan bagiku. Kamu sangat baik.  Orang tua Mas juga tidak salah, beliau juga sedang memainkan perannya. Wajar saja. Jika ada yang salah, itu adalah aku yang tidak mempertimbangkan wejangan si Mbok ketika berangkat tadi dan tetap mau datang ke rumah, Mas. Demi perih yang kualami, demi harga diri yang begitu penting bagiku, demi masa depanku, demi kebahagiaanku, mohon setelah jam 00.00 WIB nanti, jangan lagi kita membahas tentang hal ini. Aku yakin bisa memformulasi rasa cinta, sakit dan kecewa ini menjadi sediaan obat yang akan mengubah diri dan keluargaku menjadi lebih baik lagi. Mas kenalkan siapa Vinny, bukan?. Bukan gadis cemen. Kita cukupkan sampai disini. Selamat malam, Mas. 

Ku geser kursor ke tanda panah yang akan membawa pesan ini dalam sepersekian detik sampai di handphonenya Mas Tommy. Klik. Kumatikan benda kecil ini. Aku ingin istirahat, melupakan sekeping harapan bersama pria tampan itu. Aku yakin dibawah langit yang sama, seseorang juga sedang mempersiapkan diri untuk menjadi suami yang kelak lebih layak untukku. Siapa, Vin?. Entahlah. Dunia terlalu sayang jika harus diratapi. 


(Bersambung)

Menyulam Luka (5) Ambon, I'm Coming!

6 komentar: